Mengenal Profesi Policy Advocacy dari Alumni Ilmu Ekonomi FEB UGM
- Detail
- Ditulis oleh Sony
- Kategori: Berita
- Dilihat: 1642
SambangIE adalah sebuah seminar yang digelar oleh Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM). Dalam seri kali ini, SambangIE membahas mengenal profesi Alumni Ilmu Ekonomi, salah satu seri baru yang dikeluarkan Laboratorium Ekonomi FEB UGM untuk mengenalkan mahasiswa berbagai profesi yang dapat ditempuh setelah lulus. Terutama untuk mempersiapkan career dan skill set yang harus dibangun untuk mempersiapkan diri terhadap pasar tenaga kerja, dalam beberapa tahun kedepan pasar tenaga kerja lebih kompetitif dan lebih membutuhkan skill yang lebih. Oleh karena itu, SambangIE pada Jumat (23/04) mengangkat tema “Mengenal Alumni Ilmu Ekonomi #1: Profesi Policy Advocacy”. Pada kesempatan ini akan dimanjakan beragam insight dari lingkup praktisi advokasi dan kebijakan. Moderator yang memandu jalannya acara kali ini adalah Gumilang Aryo Sahadewo, Ph.D., Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM. Narasumber yang akan mengulas topik seminar adalah Muhammad Syarif Hidayatullah selaku Senior Policy Analyst di Indonesia Services Dialogue (ISD), Alvin Adisasmita sebagai Senior Program Manager di Department of Foreign Affairs and Trade Australia, dan Gerginto Pakpahan selaku Government Relation di Online Pajak. Ketiga narasumber merupakan Alumni Ilmu Ekonomi FEB UGM tahun 2005.
Membahas definisi pekerjaan sebagai Advokat Kebijakan, Alvin mengatakan bahwa dalam lingkup pekerjaannya, adalah membantu pemerintah Australia memberikan donor kepada Indonesia.
“Donor dalam hal ini technical assistance. Nah, technical assistance ini kan harus ada yang manage, untuk mengelola, melihat, memonitor, mengevaluasi, dan mendesain program”, katanya.
Menurutnya, terdapat tantangan bagi advokat kebijakan saat membantu pemerintah, salah satunya adalah mengenai translasi kebijakan strategis menjadi day-to-day implementation, bagaimana Australia melihat Indonesia dalam tatanan politik global dan translasinya ke program sehari-hari. Tantangan selanjutnya adalah mengenai diskusi dengan Pemerintah Indonesia. Menurut Alvin, Pemerintah Indonesia memiliki “Bahasa sendiri” dan perlu untuk memahami Bahasa yang ingin disampaikan pemerintah.
Ketika ditanya mengenai motivasi, Alvin mengungkapkan bahwa motivasi berkarir sebagai Senior Program Manager, adalah kesesuaian dengan bidang yang ditekuni.
“Disini ngomongin bantuan asing ada berbagai macam, yang saya apply kebetulan sangat terkait dengan saya yaitu economy governance, dimana saya dulu juga pernah kerja di pemerintah dan sebagai research associate di P2EB FEB UGM, itu cukup membantu untuk menjadi good program manager”, ujarnya.
Menurut Alvin, Skill set yang dibutuhkan yang harus dipelajari untuk menjadi advokat kebijakan, adalah menjadi seorang policy entrepreneur, bisa membaca pattern, gejala, dan peluang. Selain itu, perlu untuk bisa membangun network, dan dari network tersebut apa yang bisa diupayakan untuk mencapai sebuah agenda atau policy.
“Dengan berkuliah di Ilmu ekonomi saya belajar dari berbagai literatur ekonomi, bahwa akumulasi knowledge bisa diimplementasikan dalam kegiatan sehari-hari, baik dalam policy entrepreneur maupun day-to-day work”, tambahnya.
Sesi selanjutnya adalah penyampaian oleh Syarif yang membuka mengenai deskripsi pekerjaan policy analyst dalam Indonesia Services Dialog (ISD).
“ISD itu kan asosiasi, ketika bicara policy umumnya kita berpikir bahwa itu tugas pemerintah, memang dibentuk oleh pemerintah disahkan oleh DPR. Tapi hal ini berdampak pada masyarakat dan dunia usaha. oleh karena itu dunia usaha perlu berkumpul membentuk asosiasi untuk mengajukan apabila terdapat keberatan atau ketidaksepakatan terhadap berbagai kebijakan pemerintah, disinilah peran policy analyst”
Secara garis besar, Policy Analyst berperan mewakili asosiasi dunia usaha melakukan analisis pada kebijakan pemerintah, dimana analisis itu akan digunakan kembali untuk bersuara ke pemerintah.
“Misalnya ada kebijakan dulu pernah kita advokasi terkait ekspor jasa yang kena PPN 10%, padahal Indonesia saat itu ingin mendorong ekspor karena terdapat defisit ekspor jasa yang cukup besar, kita advokasi bahwa PPN dibuat 0%, positif atau tidak dari sektor growth, competitiveness sektor jasa pemerintah, hingga akhirnya sampai sekarang PPN Sektor jasa dibuat 0%”, kata Syarif memberi contoh.
Bekerja di Business Association seperti ISD menurut Syarif adalah sesuatu yang menarik, sebab hal ini membuka sudut pandangnya mengenai dunia usaha dan berpikir mengenai kebijakan yang dibuat pemerintah.
“Setelah melihat dari sudut pandang swasta, ternyata kebijakannya ada adverse impact bagi dunia usaha, kita bisa mengaccess seberapa impact-nya pada dunia usaha. Kedua, tantangannya adalah bagaimana kita mengkomunikasikan hal itu kepada pemerintah, bahwa adverse impact ini perlu dirubah kebijakannya”, ungkapnya.
Menurut Syarif, fokus pengembangan diri skill set yang perlu diasah ada tiga, yaitu basic skill, softskill, dan technical skill.
“Pertama, basic skill, adalah skill membaca, terutama di pekerjaan saya saya dituntut harus membaca dan memahami bacaan secara efisien dan men-deliver bacaan tersebut pada orang terkait yang dibaca”, ujarnya. Kedua adalah softskill adalh kemampuan komunikasi dan networking. Kemudian terkait technical skill, menurutnya, pemahaman ilmu ekonomi dan kemampuan dalam menulis akan sangat membantu, karena bidang pekerjaan dalam pekerjaan Policy Analyst akan diberi pekerjaan soal menulis, seperti menulis artikel opini, report, notulensi, dan sebagainya.
Sesi terakhir adalah penyampaian oleh Georginto, yang memulai bahasan mengenai latar belakang berkarir di dunia start up. “Ketika aku pernah (bekerja) diswasta, (dan) sebagai PNS, itu ada look hole discussion antara pemerintah dan swasta, ada link yang tidak connect, Saya masuk di start up sekarang adalah produk dari coregulating dimana kementerian keuangan melalui DJP memberikan Liaison perpajakan pada pihak swasta, sehingga pihak swasta dapat operasional seperti mini-DJP, bisa collecting pajak, memberikan saran sistem perpajakan di luar sistem yang ada sekarang, itu yang membuat saya interest masuk ke start up ini”, ungkap Georginto.
Ketika ditanya mengenai skill set yang dibutuhkan, Georginto mengatakan bahwa skill set memang penting, akan tetapi yang lebih penting adalah “payung”-nya. Ia memberi contoh bahwa Ilmu Ekonomi, mahasiswa belajar evaluasi, proyeksi, serta menarasikan hal tersebut. Skill set tersebut bisa dipakai di berbagai sektor kerja, bisa di sektor Non-Government Organization, Consulting Group, maupun private. Yang penting menurutnya adalah kemampuan untuk evaluasi, proyeksi, dan menarasikan dengan benar.
Untuk mengasah skill set tersebut, menurut Georginto, ada satu hal yang harus ditanamkan, untuk pekerjaan-pekerjaan apapun itu bentuknya, yang paling penting adalah how to handle rejection well.
“Sering banget ketika teman-teman dari kuliah atau kerja, ketika kita tidak bisa meng-handle rejection well, kita tidak bisa berdiskusi, berkomunikasi, membangun networking, tidak bisa membaca dan menulis dengan baik, oleh karena itu kuncinya adalah how to handle rejection well”, pungkasnya.
Reportase: Sony Budiarso/Kirana Lalita Pristy