Pentingnya Kolaborasi Antara Dunia Akademisi dan Industri dalam Mengurus Sumber Daya Manusia
- Detail
- Ditulis oleh Sony
- Kategori: Berita
- Dilihat: 3695
Ketika kita berbicara mengenai dunia keilmuan dan industri, ada satu titik bahwa keduanya selalu bekerja sama dengan yang baik dan diwaktu yang lain tidak dapat bekerja sama dengan baik. Untuk itu penting adanya keselarasan akademisi dan praktisi dalam mengurus bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dan bagaimana bidang SDM mempunyai kontribusi nyata di dunia industri. Atas dasar hal tersebut pada Jumat (05/03/2021), Laboratorium Manajemen, Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) menyelenggarakan Forum Manajemen dengan topik "Keselarasan Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) Terkini dan Tuntutan Transformasi Industri di Indonesia". Seminar ini diselenggarakan melalui Zoom Meetings dan menghadirkan narasumber yaitu Sari Sitalaksmi, Ph.D., Dosen Departemen Manajamen FEB UGM, dan Miftahudin selaku Wakil Ketua Komite Tetap Pelatihan Ketenagakerjaan, Kamar Dagang dan Industri (KADIN Indonesia). Seminar ini dimoderatori oleh Rr. Tur Nastiti, Ph.D., Dosen Departemen Manajamen FEB UGM.
Sari Sitalaksmi, Ph.D. membahas mengenai Riset SDM Mode-2 Kolaborasi Akademisi Dan Praktisi. Sari Menjelaskan mengenai Riset SDM Mode-2, yaitu bagaimana kolaborasi antara akademisi dan praktisi. Ia menjelaskan bahwa terdapat gaps of field di human resource di Indonesia, kesenjangan tersebut antara lain, kesenjangan riset bidang SDM di Indonesia, kurangnya penelitian akademik di bidang SDM tetapi di tingkat makro nasional, kurangnya penelitian SDM dengan menggunakan lensa alternatif pluralism, kurangnya penelitian tentang hubungan industrial dari perspektif SDM, serta penelitian di bidang ini lebih banyak berasal dari disiplin ilmu hukum, sosiologi, dan politik.
"Singapura menginvestasikan sekitar 4,5 juta dolar Singapura untuk meneliti 23 sektor peta transformasi industri, dunia akademisi dan praktisi membahas bersama apa kebutuhan selama 10 tahun ke depan", kata Sari.
Menurutnya, dari hal tersebut apabila diturunkan lebih lanjut akan menimbulkan tanggung jawab bagi bisnis, perguruan tinggi, dan sertifikasi. Oleh karena itu, ketika ada perubahan sesuatu di Singapura, industri bergerak sebagai supply side-nya, dan akademisi menyediakan kebutuhan SDM untuk lima tahun yang akan datang. Hal ini selaras dengan Departemen Manajemen FEB UGM yang selalu melihat kembali apa relevansinya dengan kebutuhan yang akan datang. Inilah menurut Sari, pentingnya kolaborasi antara dunia industri dan akademisi.
Sesi selanjutnya adalah penjelasan mengenai praktek manajemen SDM oleh Miftahudin. Miftahudin mengawali pemaparannya dengan membahas mengenai aspek perburuhan yang diatur ILO (International Labour Organization) menjadi salah satu concern terutama perusahaan anggota Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang berafiliasi dengan perusahaan asing. Prinsip yang diatur ILO inilah yang kemudian diregulasikan dengan regulasi ketenaga kerjaan di Indonesia.
"Isu SDM adalah isu yang selalu ada kita harus mencari alternatif, kalau kita masih mengandalkan resources atau pendekatan yang lama ternayata kita membawa evidence bahwa pendekatan yang lama itu membawa kita ke titik kali ini, we have to change", kata Miftahudin.
Miftahudin menyampaikan bahwa total penduduk Indonesia sekitar 270 juta, kemudian terdapat estimasi ke depan terdapat 320 juta jiwa pada tahun 2035. Dalam konteks tersebut, menurutnya akan terdapat penambahan penduduk kurang lebih 50 juta.
"Dalam hal ini kita membahas productivity, daya saing, kualitas SDM, menjadi make sense, apakah dengan tambahan 50 juta jiwa tadi itu harus sama dengan kebutuhan:, kata Miftahudin.
"Dalam kalangan dunia usaha dan dunia industri, kita tertantang untuk menciptakan lapangan kerja sesuai itu", tambah Miftahudin.
Miftahudin juga mengkritisi terkait dengan productivity, Miftahudin mengatakan bahwa productivity itu sering dianggap sebagai hasil, bukan sebagai target yang ingin dicapai.
"Productivity kita naik tiga persen, tiga persen itu cukup, kurang, atau berlebih, perlu tegas targetnya berapa, idealnya Indonesia itu naik productivity-nya berapa, ketika kita tidak berani stated target productivity berapa dan akhirnya dianggap sebagai result, maka tidak akan ada effort.", ungkapnya.
Menurutnya, ini akan berdampak pada SDM, untuk itu masalah yang terjadi perlu diidentifikasi dan bagaimana memastikan bahwa hasil riset tidak diterima sebagai given saja, tapi harus diterima sebagai apa yang harus kita lakukan ke depannya. Untuk itu, perlu dibuat perencanaan yang matang, setiap sektor membutuhkan SDM berapa banyak, dan kualitas seperti apa yang dibutuhkan. Untuk memetakan hal tersebut, menurut Miftahudin tidak bisa diserahkan kepada seseorang atau badan, tapi harus menciptakan kolaborasi antara dunia akademisi dan industri.
Reportase: Sony Budiarso