Program Pengentasan Kemiskinan Harus Kreatif
- Detail
- Kategori: Berita
- Dilihat: 5589
Program pengentasan kemiskinan hendaknya melahirkan masyarakat/individu yang mandiri, kreatif, inovatif, dan produktif. Dengan demikian, masyarakat/individu dapat mencari peluang-peluang usaha untuk meningkatkan pendapatannya. Ketika terjadi berbagai krisis, masyarakat/individu yang mandiri akan mampu mengatasi dengan kreasi dan produktivitasnya.
“Kreasi mereka, seperti usaha kecil dan dagang di sepanjang pinggir jalan, hendaknya tidak semena-mena digusur tanpa ada solusi dalam peningkatan pendapatannya,” ujar Prof. Dr. Ir. Sunarru Samsi Hariadi, Ketua Program Doktor dan Master Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan UGM, dalam Seminar Nasional "Menapak Harapan dan Jalan Pengentasan Kemiskinan menuju Indonesia Berkemakmuran". Seminar diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Pascasarjana dan bertempat di Fakultas Peternakan UGM, Sabtu (26/6).
Sunarru lebih lanjut mengatakan salah satu langkah agar tujuan tersebut dapat tercapai adalah perlu dilakukan pendekatan berupa penyuluhan/pembimbingan dialogis dengan cara dialektika. Pembimbingan cara ini bersifat terbuka dan komunikatif dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah yang dihadapi masyarakat dan kemudian mencari solusinya. “Dengan model semacam itu, masyarakat diajak kritis dalam memahami pribadi yang kritis, mandiri, dan kreatif. Dengan bimbingan yang melibatkan lembaga terkait akan membuka wawasan masyarakat dan mengerti peluang-peluang beragam usaha,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, ia mencontohkan Kelompok Tani Wanita “Menur” di Desa Wareng, Wonosari, Gunung Kidul, yang dinilai sebagai masyarakat kreatif dan produktif. Ketika lahan pertanian sempit dan kurang subur serta tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga, para bapak tani lantas bekerja di luar pertanian (dagang, buruh, tukang, dsb). Lahan pertanian kemudian diambil alih dan dikelola oleh para ibu tani. Mereka membentuk kelompok dengan berbagai kegiatan, seperti mengelola pertanian, koperasi, lumbung pangan kelompok, dan industri rumah tangga. “Dari kegiatan diversifikasi pekerjaan masyarakat ini menghasilkan peningkatan pendapatan keluarga yang mampu mengentaskan dari kemiskinan,” imbuh Sunarru.
Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Catur Sugyanto, Ph.D., yang juga berbicara dalam seminar itu mengatakan pada saat masih terjadi pengangguran dan tingkat kemiskinan yang bertambah, peran pemerintah dibutuhkan, khususnya untuk membantu masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan dan kesehatan. “Terbukanya akses orang miskin terhadap pendidikan dan kesehatan diharapkan mampu meningkatkan ke taraf hidup yang lebih baik. Dalam jangka panjang, keadaan ini akan membantu pemerintah dalam mengurangi jumlah orang miskin,” ujar Catur.
Di sisi lain, ditambahkan Catur, kualitas sumber daya manusia terbukti menjadi faktor pemacu pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Sementara itu, implementasi kebijakan desentralisasi sejak tahun 2001 kemungkinan berdampak pada masih rendahnya kualitas pendidikan karena prioritas anggaran yang tidak sesuai.
Ia mencontohkan masih rendahnya Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk semua umur di NTB yang masih di bawah rata-rata nasional. “Evaluasi target pembangunan milenium (MDG) untuk APS umur 13-15 tahun (SMP/MTs) di NTB 76,5%, sedangkan rata-rata nasional 83,5%. Jadi, meskipun MDG ini baru, fenomena rendahnya partisipasi pendidikan dan kemiskinan sudah diidentifikasi sejak lama,” kata Catur.
Sumber: www.ugm.ac.id