Pentingnya Keberlanjutan Lingkungan dan Transformasi Energi dalam Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
- Detail
- Ditulis oleh Najwah
- Kategori: Berita
- Dilihat: 805
Menciptakan pembangunan ekonomi yang sirkuler dan ramah lingkungan merupakan salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Pakar ekonomi dari Crawford School of Public Policy Australia National University (ANU), Prof. Budy P. Resosudarmo menyampaikan bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup aspek ekonomi saja, tetapi juga aspek pengembangan manusia dan keberlanjutan lingkungan.
Hal tersebut disampaikan Budy dalam sesi pertama seri kuliah bertajuk Meningkatkan Proses Penelitian dalam Ekonomi Lingkungan yang diadakan oleh Program Studi Magister Sains dan Doktor (MD), Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB UGM), pada Senin (2/9) di Auditorium Prodi MD FEB UGM.
Budy menjelaskan pengembangan manusia ini diukur dalam tiga aspek, yaitu ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Sedangkan, tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tercermin dari prinsip-prinsip SDGs 2030.
Lebih lanjut Budy mengatakan sumber daya dan peluang yang tersedia saat ini harus dikelola dengan baik sehingga generasi mendatang juga dapat menikmatinya, tanpa merugikan atau membebani mereka. “Kita boleh membangun dan menikmati apapun yang ada di dunia ini, asalkan generasi anak-cucu kita tetap dapat menikmati dunia yang kita nikmati saat ini. Oleh karena itu, sebenarnya yang ditekankan dalam pembangunan berkelanjutan adalah keadilan antar generasi, bukan kesetaraan dimana setiap generasi mendapatkan jumlah yang sama,” jelas Budy.
Budy juga memperkenalkan konsep triple bottom line yaitu suatu konsep dalam akuntansi yang mengukur dampak sosial dan lingkungan dari suatu kegiatan terhadap kinerja finansial suatu perusahaan. Menurutnya, setiap kebijakan dan proyek pembangunan harus dapat memenuhi konsep ini yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan manusia, dan keberlanjutan lingkungan. Namun, Budy mencatat bahwa aspek keberlanjutan lingkungan sering kali sulit diterapkan jika tidak memiliki nilai tambah.
“Kebanyakan sumber daya alam adalah milik bersama sehingga sulit untuk memberikan nilai ekonomi. Padahal, keberlanjutan membutuhkan nilai tambah dan kemampuan pengelolaan lingkungan yang baik,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu Budy juga membahas soal eksploitasi lingkungan di Indonesia. Sejak era orde baru, eksploitasi alam merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilakukan dengan memperbolehkan Foreign Direct Investment (FDI) untuk masuk dan mengeksploitasi SDA di Indonesia. Kemudian, hasil yang didapat dari investasi asing ini digunakan kembali untuk melakukan pembangunan infrastruktur di tanah air. Strategi pertumbuhan ekonomi di era orde baru ini pun bisa menurunkan angka kemiskinan yang cukup tajam hingga 40 persen di tahun 1970-an. Namun semakin menurunnya kualitas lingkungan di Indonesia, strategi ini tidak lagi efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
“Strategi ini sudah gak bisa berjalan lagi, sedangkan sumber daya kita terus berkurang dan kebutuhan energi kita naik. Kita pun gak bisa mengandalkan minyak dan gas lagi, energi terbarukan juga sedikit,” terangnya.
Oleh karena itu, Budy memandang perlunya transformasi energi di Indonesia. Ia menjelaskan terdapat tiga aspek untuk transformasi energi yaitu meningkatkan intensitas penggunaan energi terbarukan, integrasi energi regional, dan menghentikan penggunaan energi non-terbarukan secara bertahap. Untuk mendukung transformasi energi ini, pemerintah berencana untuk menerapkan carbon trading system di tahun 2025, membangun pembangkit listrik energi terbarukan, mempromosikan kendaraan listrik di indonesia, merestorasi hutan mangrove, dan menerapkan ekonomi sirkuler.
Namun, Budy menekankan bahwa integrasi energi di seluruh negeri melalui pembangunan jaringan listrik Nusantara Super Grid adalah kunci. Dengan adanya Super Grid ini akan memaksimalkan potensi energi terbarukan, mempercepat dekarbonisasi, dan menjamin stabilitas energi. Sebagai alternatif, Indonesia juga dapat terhubung dengan jaringan Asia Super Grid milik China atau Super Grid dari Australia. “Indonesia ada di posisi yg strategis. Oleh karena itu, kesempatan untuk terhubung dengan jaringan renewable energy dari negara tetangga (China dan Australia) pun besar,” paparnya.
Reportase: Najwah Ariella Puteri
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals