Minim Akses Pengusaha Mikro Pada Perbankan
- Detail
- Kategori: Berita
- Dilihat: 3249
Akses keuangan menjadi masalah cukup mengganggu kelangsungan bisnis yang menyangkut para pengusaha mikro. Karena dari survei yang dilakukan di tahun 2011 menunjukkan kurang dari 20 persen masyarakat Indonesia yang memiliki akses ke bank untuk kredit.
Menurut Abdul Jabir Uksim, keterpurukan ekonomi negara-negara berkembang lebih disebabkan ketidakmampuan dalam menumbuhkan lembaga permodalan yang khas untuk usaha mikro. Padahal berdasar data Koperasi dan SIUP (Surat Ijin Usaha dan Perdagangan) di tahun 2013, penggiat ekonomi mikro di Indonesia mencapai 98,78 persen dengan omset 300 juta pertahun atau 25 juta per bulan.
"Permodalannya dari mana, mereka bisa berkembang seperti apa, bila dibiarkan seperti itu akan terus menerus pada posisi mikro dan kecil, terus kapan ke menengah atau apa. Inilah yang menjadi keprihatinan", ujar Ketua Umum Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dalam Seminar Ekonomika Kerakyatan bertema: Membangun Ekonomi Menuju Desa Mandiri "Kredit Mikro Memajukan Ekonomi Rakyat" di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Selasa (21/1).
Pengusaha mikro, kata Abdul Jabir Uksim, perlu akses informasi, public services, administrasi birokrasi, input output market, teknologi, network dan finance. Dari semua itu, finance menjadi hal yang paling penting karena yang lain akan berkembang sesuai dengan skala usaha yang dibutuhkan.
"Aspek finance inilah yang menyebabkan pertumbuhan, bisa memunculkan penyuluhan dan bimbingan untuk petani misalnya, dari on-farm dan of-farm nya hingga memiliki nilai tambah yang terbesar," paparnya.
Abdul Jabir Uksim berpendapat untuk mempermudah akses terhadap lembaga keuangan, perlu dibentuk lembaga keuangan mikro. Agar memenuhi kebutuhan masyarakat, maka dalam masyarakat petani misalnya perlu dikumpulkan untuk dibentuk lembaga hukum mirip koperasi. Dengan semacam koperasi, inilah mereka mendapatkan pelatihan, sertifikasi dan channel pembiayaan.
"Kita punya tiga sumber akses pembiayaan awal melalui induk Koperasi, Amanah Centura Syariah, dan lembaga micro finance. Tiga lembaga ini yang biasanya menginkubasi awal, yang nantinya akan memberikan capacity building, pelatihan-pelatihan, sistem pendampingan yang diharapkan bisa menjadikan mereka mandiri", ungkapnya.
Eko Suwardi, M.Sc., Ph.D, Wakil dekan Bidang Perencanaan dan Sistem Informasi FEB UGM mengungkapkan meski sudah berusaha keras, namun karena keterbatasan komunikasi dan faktor ego menjadikan semua yang dilakukan pengusaha mikro tidak sambung. Karena itu perlu inisiatif-inisiatif untuk memajukan diri, keluarga dan masyarakat.
"Marilah faktor-faktor ego yang menghambat kita kalahkan, yang lebih penting adalah bagaimana inisitif-inisiatif yang ada di masyarakat kita, petani, mikro bisnis supaya bisa bekerjasama dan guyub dalam membangun desa, kecamatan, kabupaten, bangun Jogja dan pada akhirnya membangun Indonesia", katanya.
Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat menambahkan kunci keberhasilan pembangunan nasional adalah pada pengelolaan keuangan. Orang membangun harus bekerja memperoleh pendapatan yang pada akhirnya menghidupi dirinya sendiri. "Bekerja untuk menabung, tabungan itu dikelola oleh lembaga keuangan dan sekian lama bangsa Indonesia terlena, bahwa pembangunan yang sesungguhnya itu dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat", tambahnya.
Sumber: Agung/UGM