Meski Diatur UU, CSR Bukan Keterpaksaan
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 2834
Ada tiga unsur penting dalam kegiatan bisnis, yakni; etika, korporasi berkelanjutan, dan keuntungan. Namun dalam menjalankan sebuah bisnis, sebuah perusahaan tetaplah harus mempertimbangkan persoalan yang dihadapi masyarakat. Oleh karenanya, Corporate Social Responsibility (CSR) harus menjadi komitmen dunia korporasi untuk selalu peduli pada masyarakat dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Hal ini disampaikan oleh Dr. Hendirik Budi Untung, S.H., M.M dalam bedah buku terbarunya "CSR dalam Dunia Bisnis" Jumat (9/5) di Auditorium Pertamina Tower Lantai 6 Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.
Budi memaparkan saat ini CSR sudah memiliki peraturan yang legal formal dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dengan begitu, kata Budi, kehadiran UU yang mengatur tanggungjawab sosial perusahaan tersebut, maka CSR bukan lagi menjadi bagian tanggungjawab namun sudah menjadi kewajiban. “Ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mendukung kesejahteraan masyarakat melalui peran korporasi,” paparnya.
Selain itu, tambahnya, CSR diharapkan menjadi bagian dari upaya mendukung program pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Meski program pegentasan masyarakat miskin selama ini masih saja dijejali oleh program-program yang bersifat karitatif (santunan), tanpa ada upaya memberdayakan.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen manajemen FEB UGM, Purwanto, MBA.,Ph.D menilai CSR seharusnya tetap menjadi bagian sifat sukarela yang muncul dari itikad baik perusahaan. Sedangkan UU, menurutnya secara sistematik merendahkan martabat CSR dari yang tadinya luhur menjadi keterpaksaan. “Di negara-negara maju, tidak ada UU yang mengatur CSR,” terangnya.
Lebih lanjut, Purwanto memaparkan salah satu hasil penelitiannya mengenai CSR menghasilkan beberapa temuan, salah satunya motivasi perusahaan melakukan CSR disebabkan adanya rasa kepedulian, rasa bersalah, dan internalisasi CSR dalam perusahaan. “Yang paling baik adalah ketika CSR sudah menginternal, bahkan sejak perusahaan mulai didirikan,” pungkasnya.
Sumber: Faisol/UGM