Krisis Iklim dan Peran Energi Terbarukan
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 13605
Fakta dan fenomena yang ada di dunia menunjukkan bahwa perubahan iklim itu nyata adanya. Perubahan iklim yang terjadi berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat. Kenaikan suhu bumi mengubah sistem iklim sehingga berpengaruh terhadap perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian, hingga ekosistem wilayah pesisir. Mengusung isu tersebut, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) bekerja sama dengan Star Energy Geothermal, produsen energi panas bumi terbesar di Indonesia, menyelenggarakan Kuliah Umum dengan topik "Peran Perubahan Iklim dan Energi Terbarukan". Kuliah umum tersebut dilaksanakan pada hari Kamis (30/07/2020) secara daring melalui aplikasi Zoom Meetings.
Dimensi dan aspek yang memengaruhi krisis iklim menjadi bahasan utama dalam kuliah umum tersebut. Krisis iklim terjadi sebagai akibat aktivitas manusia di abad 20, salah satunya terkait kegiatan bisnis manusia. Dekan FEB UGM, Eko Suwardi, M.Sc., Ph.D, mengatakan dalam sambutannya bahwa dalam membangun sebuah bisnis, sangat penting untuk memperhatikan keberlanjutan bisnis tersebut. "Diskusi climate change sangat bermanfaat bagi kita sebagai pribadi dan semua civitas academika. Pemahaman kuliah pada hari ini akan memberi perspektif dari konservasi alam, renewability yang ada, dan bisa mempertahankan bisnis yang sustainability. Kerja sama dengan Star Energy akan menambah confident kami karena Star Energy adalah perusahaan yang reputable dalam hal new energy, karena bisnis juga harus memperhatikan keberlanjutan bisnis, keberlanjutan manusia", kata Eko.
Sesi kuliah umum dimulai dengan pemaparan tentang krisis iklim oleh Andhyta Firselly Utami selaku Environmental Economist di World Bank. Andhyta membuka diskusi dengan membawa masalah kurangnya kesadaran manusia terkait dengan krisis iklim. "Dampak dari krisis iklim udah banyak di sekitar kita, tapi kebanyakan manusia menganggap ini adalah bencana alam, tak menganggap bahwa ini bukan kesalahan manusia", papar Andhyta.
Kesalahpahaman yang lain menurutnya adalah banyak masyarakat yang menyepelekan situasi yang berubah, misalnya terkait kenaikan suhu. Padahal, meningkatnya suhu bumi bila tidak dapat ditekan dari sekarang, bisa berdampak masif terhadap kerusakan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Menurutnya, kenaikan suhu akan berdampak besar pada 60 sampai 80 tahun ke depan. Ia menyampaikan sebuah data yang menyatakan 97% ilmuwan sepakat bahwa kegiatan manusia menyumbang pemanasan global. Asia sebagai emerging market, menjadi sumber terbesar penghasil emisi di dunia. Indonesia sendiri mendapat predikat penghasil emisi ke-4 terbesar di dunia dan mewakili 4,8% dari total emisi global dunia pada tahun tersebut. Maka dari itu, menurutnya, Indonesia punya peran yang sangat penting, terutama untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Ia mengkritisi terkait luaran ekonomi yang dihasilkan dari pengeluaran karbon di Indonesia.
"91% emisi Indonesia dari sektor lahan dan energi, baik itu pembukaan hutan, pembakaran lahan, dan pemakaian energi, tapi bila dikaitkan dengan ekonomi, dari setiap karbon yang dikeluarkan, Indonesia sedikit sekali dalam luaran ekonomi", kritiknya. Padahal, pemerintah Indonesia saat ini telah menandatangani Perjanjian Paris, kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim, dan berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29% sampai 41% pada tahun 2030.
"Terkadang kita masih susah menyeimbangkan sosial dan ekonomi, tapi ekonomi yang berkelanjutan harus memerhatikan environment dulu", tegasnya terkait kondisi sosial ekonomi di Indonesia. Menurutnya, hal ini dikarenakan krisis iklim di Indonesia bukan hal yang diprioritaskan karena isu ini tidak dekat dengan masyarakat. Seharusnya isu ini harus menjadi perhatian semua orang karena bersifat sangat penting untuk menjadi concern seluruh masyarakat.
Terkait peran masyarakat saat ini, ia mengungkapkan bahwa masyarakat bisa memilih karir yang berkontribusi secara langsung dan tidak langsung, baik di sektor privat maupun pemerintah untuk berkontribusi mengambil kebijakan terkait iklim dalam kedua sektor tersebut.
"Citizen engagement kita dalam berpolitik juga berpengaruh karena itu bisa menentukan arah kebijakan energi terbarukan di Indonesia. Untuk entrepreneur, bisa mengembangkan suatu bisnis atau solusi yang memerhatikan lingkungan dan memerhatikan emisi untuk keberlanjutan di masa yang akan datang", pungkasnya.
Materi selanjutnya disampaikan oleh Merely, Kepala Bagian Keuangan dan Administrasi Star Energy Geothermal. Ia menyampaikan apa yang bisa dilakukan untuk menangani krisis iklim dan bagaimana peran Star Energy untuk mengatasi hal tersebut. Ia mengawali pemaparan dengan informasi terkait kondisi iklim yang menurutnya saat ini sudah cukup mengerikan. "Jika tidak melakukan sesuatu, 15 sampai 80 tahun ke depan kita akan bisa bayangkan apa yang terjadi kepada generasi selanjutnya", ungkap Merely.
Kondisi yang paling mengkhawatirkan akibat penggunaan energi fosil tersebut adalah efek rumah kaca. Menurutnya, pemerintah harus berupaya untuk mengurangi hal ini, salah satunya dengan menggunakan energi panas bumi. "Energi geothermal merupakan energi non-fosil di mana dapat menurunkan emisi karbon. Sebab, energi ini termasuk environmental friendly, green energy, karena memiliki emisi yang paling kecil dari pada energi fosil”, papar Merely.
Ia mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki kandungan resources yang sangat besar dari sisi geothermal, apabila bisa dikembangkan akan berdampak efektif mengurangi emisi karbon dan mengurangi krisis iklim tersebut. Ia menyayangkan bahwa kontribusi dan konsumsi energi geothermal di Indonesia saat ini masih cukup kecil, sebesar 8,17%, dan pembangkit energi geothermal di Indonesia juga masih sedikit. Menurutnya, hal ini termasuk kategori yang kecil dan belum bisa dikatakan optimal, terkait dengan komitmen Indonesia untuk menuju target renewable energy pada tahun 2025 sebesar 23% dan pada tahun 2050 sebesar 50%.
"Economic development, environment preservation, dan reduction synergy menjadi pilar utama dari kami untuk masyarakat setempat sehingga masyarakat setempat memiliki kualitas yang bersaing, demi mewujudkan Indonesia yang ramah lingkungan”, pungkasnya.
Sumber: Sony Budiarso/Leila Chanifah Z.