Pentingnya Melawan Pelanggaran Etika Bisnis di Era Digital
- Detail
- Ditulis oleh Sony
- Kategori: Berita
- Dilihat: 183196
Pelanggaran etika dapat terjadi di mana saja, termasuk di dalam dunia bisnis. Demi mendapatkan keuntungan yang besar, tak jarang banyak perusahaan yang berusaha untuk menghalalkan segala cara. Padahal, sebenarnya praktik curang ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merugikan perusahaan itu sendiri.
Begitulah yang disampaikan oleh Pakar Etika Bisnis dan Profesi Akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Prof. Mahfud Sholihin, Ph.D. Ia mengatakan bahwa bisnis yang dibangun dengan tidak etis pastinya tidak akan sustain. "Bisnis yang tidak etis akan merugikan masyarakat. Etika bisnis memberikan dampak positif bagi pelaku bisnis maupun perusahaan, masyarakat pun juga diuntungkan dengan hal itu," jelasnya saat dihubungi oleh Kagama.co.id.
Meski telah banyak yang memahami konsekuensi atas pelanggaran etika bisnis, nampaknya kesadaran akan pentingnya etika bisnis perlu terus digalakkan. Sebab, dalam praktiknya masih sering ditemukan pelanggaran terhadap etika bisnis oleh para pebisnis yang tidak bertanggung jawab di Indonesia. Praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab ini masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan, dan tak jarang diwarnai praktik-praktik tidak terpuji atau moral hazard.
Sebagai contoh, apabila ditinjau dari sisi lingkungan, bisnis yang etis, menurut Mahfud, adalah bisnis yang tidak akan merusak lingkungan. Ini terjadi karena jika perusahaan merusak lingkungan dalam jangka panjang, maka perusahaan dipastikan akan terkena masalah. Lebih parahnya lagi dampak yang terjadi di masa depan, lingkungan yang rusak bisa menjadi sumber bencana. Mahfud menambahkan bahwa terdapat pelanggaran etika lain yang kerap ditemui, misalnya pelanggaran etika terhadap karyawan, khususnya terkait gaji, pesangon, jam kerja, dan sebagainya. "Bisnis yang etis, pasti karyawannya akan berkomitmen terhadap perusahaan, bahkan bisa bekerja lebih dari harapan perusahaan dan semakin inovatif sehingga menguntungkan perusahaan," tutur Mahfud.
Begitu juga sebaliknya, bisnis yang etis adalah bisnis yang juga mengurangi probabilitas karyawan untuk dipecat atau terkena PHK. Apalagi di era digital saat ini, merujuk pada pemikiran seorang ahli, Mahfud menerangkan bahwa isu etika bisnis yang laten, identifikasinya meliputi suap, pencurian, pemaksaan, intimidasi, penipuan, dan diskriminasi.
"Misalnya penipuan di era digital, bentuknya seperti manipulasi laba dan manipulasi informasi. Demikian juga pencurian data pribadi lewat platform digital. Lima bahaya laten itu masih terjadi di era digital," ungkapnya.
Mengutip dari salah seorang pakar, Mahfud mengatakan bahwa isu etika paling banyak ditemui di era digital, di antaranya ada privasi, nanoteknologi, menggeser pekerjaan orang dengan teknologi, dan sebagainya. "Celakanya, lingkungan bisnis di era digital yang tidak etis ini menimbulkan dampak yang semakin masif," ujar Mahfud.
Ia mengungkapkan bahwa terjadi perbedaan terhadap pelanggaran etika bisnis. Dulu, dampak pelanggaran etika bisnis hanya menyebar di lingkungan sekitar perusahaan. Namun, di era digital ini dampaknya bisa lebih luas, bahkan sampai ke tingkat global. "Saat ini era digital memang tak bisa dihindari, tetapi harus ada upaya untuk mengurangi pelanggaran etika bisnis ini, agar tidak merugikan masyarakat", jelasnya.
Mahfud mengatakan bahwa inilah saatnya Pendidikan Etika berperan untuk memerangi pelanggaran etika bisnis di era digital seperti sekarang. Seperti contoh di level perguruan tinggi, ia menyampaikan bahwa penting untuk menghadirkan satu mata kuliah yang fokus membahas etika bisnis. Lebih baik lagi, ia menyarankan agar perguruan tinggi menyisipkan pemahaman-pemahaman etika bisnis di setiap mata kuliah, utamanya yang berkaitan langsung dengan dunia usaha dan ekonomi. Menurutnya, hal ini penting karena mambangun proses untuk menuju perilaku yang etis harus diawali dengan membangun kesadaran. Sebab, banyak orang yang tidak sadar bahwa dirinya melanggar etika bisnis. Ia memberi contoh perilaku terkait ketidaksadaran tersebut.
"Tidak sadar bahkan sudah menjadi kebiasaan, misalnya menggunakan barang kantor untuk kepentingan pribadi.", jelasnya.
"Itu karena mereka nggak sadar ada yang namanya isu etika sehingga mereka memberikan judgement bahwa semua yang mereka lakukan aman karena diperbuat tanpa sadar," tambahnya.
Mahfud berpendapat bahwa setelah membangun kesadaran, penting kemudian memahami tentang berbagai pelanggaran etika, sampai memunculkan niat untuk tidak melanggar etika. Namun, tentu saja niat tersebut butuh dukungan dari lingkungan. Untuk itu, ia menyarankan bahwa lingkungan bisnis maupun pemerintah sudah selayaknya mempunyai regulasi yang baik untuk mengatur hal ini. "Kemudian yang nggak kalah penting adalah enforcement-nya. Siapa pun yang salah harus dihukum agar menimbulkan efek jera," tuturnya. Saat ditanya mengenai regulasi apa yang harus diterapkan. Menurut Mahfud, etika baru bisa efektif ditegakkan apabila sudah didukung dengan perangkat hukum sehingga perlu adanya peraturan perundang-undangan yang concern membahas isu etika bisnis.
Sumber: Kagama.co.id