Rasa Syukur Adalah Kunci Work-life Balance
- Detail
- Ditulis oleh Sony
- Kategori: Berita
- Dilihat: 1268
Dalam rangka Dies Natalis ke-65 (Lustrum XII), Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM menyelenggarakan seminar dengan tema "Work-life Balance dalam Masa Pandemi". Seminar digelar melalui dua platform yakni melalui aplikasi Cisco Webex dan Live streaming di saluran YouTube Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, dihadiri oleh mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan UGM, serta masyarakat umum. Webinar dipandu oleh moderator yaitu Amanda Acintya, SE., M.Sc., Dosen Departemen Akuntansi FEB UGM. Narasumber dalam webinar ini adalah Prof. Dra. R.A. Yayi Suryo Prabandari, M.Sc., Ph.D. selaku Guru Besar FKKMK UGM.
Membawa topik seputar Work Life Balance, Dosen Departemen Ilmu Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial FKKMK UGM ini mengawali diskusi dengan mendefinisikan arti sehat menurut World Health Organization (WHO). "Sehat adalah keadaan kesejahteraan atau well being, baik itu fisik, mental, jiwa sosial. Jadi tidak hanya bebas dari penyakit dan kecacatan aja", tuturnya. Ia menambahkan bahwa sehat tak hanya tidak jatuh sakit, melainkan bisa sekolah, bekerja, melakukan kegiatan sehari-hari dengan lancar, merasa tenang dan bahagia, siap untuk bekerja sama dengan orang lain atau mengikuti kegiatan sosial juga termasuk bagian dari sehat itu sendiri.
Untuk mengembangkan ekosistem sehat, penting menurutnya universitas menciptakan lingkungan Universitas Sehat. Ia mengutip dari Healthy Universities Network England, bahwa penting untuk melakukan pendekatan kesehatan secara komprehensif pada universitas untuk menciptakan lingkungan belajar yang meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan keberlanjutan masyarakatnya. Sebab, ini bisa mendorong orang untuk mencapai potensi penuh mereka. Ini bisa diwujudkan dengan komitmen dan kebijakan pimpinan universitas, lingkungan fisik dan sosial yang mendukung perilaku sehat, serta kegiatan pendidikan dan penelitian tentang kesehatan.
Prof. Yayi menerangkan bahwa Universitas Gadjah Mada, telah berkomitmen untuk pengembangan Universitas Sehat, usaha ini dijalankan melalui tema Health Promoting University (HPU) yang mengeluarkan upaya-upaya untuk menuju well being. Diantaranya adalah aktivitas fisik , pola makan sehat, kesehatan mental, literasi kesehatan, zero tolerance narkoba, tembakau dan alkohol, zero tolerance kekerasan, perundungan dan pelecehan, serta pembentukan lingkungan hidup sehat, aman dan disabled friendly.
Terkait dengan Pandemi Covid-19 saat ini, ia mengungkapkan bahwa banyak permasalahan yang terjadi terutama dari segi penyebaran informasi. Banyaknya informasi yang berhubungan dengan topik khusus yang berkembang sering terjadi dalam waktu singkat dan berturut-turut ketika merespon suatu kejadian khusus. Pada situasi ini, sering terjadi informasi yang salah, banyak rumor dan manipulasi informasi yang intensinya untuk membuat orang ragu-ragu.
"Selain pandemic, sebenarnya kita juga menghadapi infodemic. Banyaknya isu, dan informasi sering bikin kita ragu-ragu. Makanya teknologi dan berita bisa menjadi kebaikan, disisi lain juga bisa menjadi seperti virus", terangnya.
"Kita harus bisa relaksasi, sejenak berhenti dulu dari media sosial, dari informasi-informasi yang membuat resah, stop berita negatif", tambahnya.
Ancaman kesehatan mental juga perlu ditanggapi secara serius, apalagi beberapa bulan ini, banyak perubahan yang terjadi di masa pandemi, seperti kebijakan untuk work from home, dan physical distancing. Menurutnya, hal ini bisa membuat seseorang menjadi stress, bahkan depresi. Keduanya bisa disebabkan karena adanya perasaan tertekan, cemas, tegang, serta respon yang menuntut individu untuk melakukan penyesuaian.
Prof. Yayi memberi tips efektif untuk mewujudkan work-life balance. Dari segi raga, tinggalkan keinginan untuk merasa selalu ingin sempurna, lepas perangkat teknologi sejenak, dan gunakan untuk olahraga dan meditasi atau berdoa. Ubah struktur kehidupan, ganti suasana baru dengan cara membatasi aktivitas dan sosial yang hanya membuang-buang waktu.
"Utamanya adalah kita yang mengatur jadwal, buka jadwal yang mengatur kita", jelasnya.
Dari segi jiwa, kunci work-life balance adalah bersyukur. Menurutnya, komponen yang menentukan rasa syukur antara lain selalu berusaha melakukan perbuatan baik kepada orang lain, niat baik yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu, serta selalu bertindak positif melalui penilaian dan penghargaan positif kepada orang lain atas apa yang diperoleh.
"Rasa syukur berperan sebagai suatu perasaan terima-kasih, bersifat menyenangkan atas respon penerimaan diri terhadap yang diperoleh", ungkapnya.
Jika itu mampu dilaksanakan, maka kecenderungan seseorang untuk diterima oleh lingkungan sosialnya (prosociality), bereaksi secara emosional dan merasakan kepuasan dalam hidupnya (emotionality well-being), dan yang berkaitan dengan keagamaan, keimanan, dan menyangkut nilai-nilai transedental terkait hubungan vertikal dengan Tuhan (spirituality) akan optimal dan work-life balance akan selalu terwujud dimanapun situasi kita berada.
Sumber: Sony Budiarso/Leila Chanifah Z.