Korupsi Tidak lagi Sistemik
- Detail
- Kategori: Berita
- Dilihat: 2701
Korupsi Tidak lagi Sistemik Sistem penanganan korupsi maupun UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) di Indonesia tidak rasional sehingga sama sekali tidak membuat efek jera bagi koruptor. Bahkan terlihat konyol manakala dalam UU Tipikor justru tersirat mengajak orang melakukan korupsi.
Ketentuan di dalam UU Tipikor menyebutkan, hakim hanya bisa memvonis denda kepada koruptor maksimal Rp 1 miliar. "Dengan begitu kalau mau untung korupsilah di Indonesia. Ketentuan denda maksimal seperti itu, jelas membuat orang akan senang melakukan korupsi di Indonesia dengan jumlah besar karena pasti akan untung," ujar ekonom UGM, Rimawan Pradiptya PhD, di sela seminar ekonomika dan bisnis keperilakuan, di kampus FEB UGM, Kamis (22/9).
Dengan sistem dan undang-undang yang tak rasional, imbuh dosen FEB UGM, jangan harap orang-orang atau masyarakat juga akan bertindak rasional. "Karenanya diperlukan perombakan besar-besaran hingga ke cara berpikir jika kita ingin membenahi sistem perekonomian maupun ingin menghilangkan korupsi di negeri ini," katanya.
Akibat tindak pidana korupsi, katanya lagi, negara harus menanggung kerugian sebesar Rp 73,07 triliun sejak 2001 hingga 2009. Dari kerugian negara sebanyak itu, potensi yang bisa dikembalikan hanya Rp 5,32 triliun. "Artinya para pembayar pajak yang taat maupun masyarakat pada umumnya harus menangggung kerugian sebesar Rp 67,75 triliun yang tak mungkin kembali," papar Rimawan.
Revisi UU Tipikor inipun terlihat makin konyol manakala penggelapan uang negara tidak melebihi 25 juta rupiah, bukan sebagai tindak pidana korupsi. Pada versi UU sebelumnya batasan tersebut tidak melebihi Rp 5 juta. "Orang pun pasti akan berpikir bisa mencuri-curi uang negara. Ini bukti kebobrokan sistem perekonomian di Indonesia, yang tak lagi sistemik melainkan sudah struktural. Bahkan maraknya korupsi bukan lagi sebagai kecelakaan tapi sudah by design," tandasnya.
Sementara itu, Wakil Direktur Bidang Akademik Program MSi-Doktor FEB UGM, Dr. Arti Adji mengemukakan dengan kondisi perekonomian seperti ini teori-teori ekonomi konvensional tak lagi bisa menjawab permasalahan. Diperlukan kajian ekonomis di Indoneesia memakai analisis behavioral economics atau ekonomi keperilakuan dibanding teori-teori ekonomi Barat yang kurang sesuai. "Artinya, dengan perilaku masyarakat Indonesia seperti sekarang ini, akan lebih tepat jika dianalisis menggunakan behavioral economics," tambahnya.
Sumber: Agung/UGM