Bisnis sosial di Indonesia belum berkembang
- Detail
- Kategori: Berita
- Dilihat: 2888
Bisnis yang berorientasi pada keuntungan adalah hal yang biasa. Namun, apabila bisnis didirikan bukan untuk mencari keuntungan melainkan membantu masyarakat miskin, itu sungguh sangat luar biasa. Hal itu yang dilakukan oleh Pendiri dan sekaligus CEO Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), Veronica Colondam. Yayasan yang didirikan empat belas tahun silam, menaungi tiga perusahaan dan satu koperasi, berhasil menyekolahkan 2,2 juta anak putus sekolah di Indonesia. Tidak hanya menyekolahkan anak putus sekolah di sanggar belajar bahkan Veronica mencarikan pekerjaan bagi mereka setelah lulus. Orang tua mereka pun mendapat bantuan modal usaha lewat kredit pinjaman lunak.
"Sanggar belajar yang sudah kita dirikan sudah ada di 16 provinsi, 36 kota, melibatkan 8.719 sukarelawan dan 78 ribu aktivitas," kata Veronica saat menjadi pembicara di executive series di auditorium di auditorium Sukadji Ranuwiraho, Magister Manajemen, FEB UGM, Sabtu (23/2).
Perempuan kelahiran Manado, 41 tahun silam ini mengatakan apa yang dilakukan murni untuk membantu orang lain. Berangkat dari keprihatinannya jumlah anak usia putus sekolah di seluruh pelosok Indonesia yang mencapai 3 juta setiap tahun. "Satu dari 3 anak tidak bisa melanjukan pendidikan. Ada 3 juta drop out setiap tahun. Setiap anak Indonesia punya harapan untuk sekolah," kata peraih Ernst & Young Social Entrepreneur of The Year 2011 ini.
Pilihannya untuk mengabdikan diri untuk membantu orang lain diakui Veronica semata-mata untuk memberikan sesuatu yang lebih bagi orang lain. Baginya, sukses hidup adalah dimana bisa bermanfaat bagi orang lain dalam 10-15 tahun ke depan. "Kita tidak bisa melihat sukses ketika kita masih hidup. Sebaliknya, sukses itu ketika kita meninggal dan nama kita diingat oleh orang lain. Jadi itu yang ingin saya lakukan," katanya.
Dia menerangkan, saat mendirikan yayasan YCAB di tahun 2000, ia kesulitan mencari donatur. Setiap kali ia menemui teman dan koleganya dikira akan dimintai sumbangan. Lalu Veronika mendirikan beberapa perusahaan untuk membantu yayasan tersebut. "Bagi saya saat itu bagaimana membuat bisnis yang ada unsur sosialnya," katanya. Beberapa perusahaan yang didiirkan tersebyt bergerak di bidang penjulan mainan anak-anak, wahana permainan, dan salon kecantikan.
Selanjutnya, ia pun mendirikan koperasi simpan pinjam. Koperasi ini didirkan karena sulitnya mengajak anak-anak putus sekolah untuk belajar di sanggar miliknya. Rata-rata anak usia putus sekolah bekerja membantu tambahan penghasilan keluarga. Lalu lewat koperasi yang didirikan Veronica, dia memberi iming-iming bagi orang tua yang menempatkan anaknya yang putus sekolah akan pinjaman kredit usaha. "Dengan syarat anak harus belajar hingga dia lulus," katanya.
Meski terkesan memaksa, kata Veronika, ternyata upaya tersebut sangat efektif. Bahkan para orang tua mencarikan anak usia putus sekolah dari keluarga lain. Pekerjaan Veronika belumlah selesai hingga anak-anak ini lulus. Dia juga membantu mencarikan pekerjaan bagi yang ingin segera bekerja atau membiayai mereka yang ingin melanjutkan sekolah ke pendidikan yang lebih tinggi.
Direktur MM UGM, Prof. Dr. Lincolin Arsyad, MBA., mengatakan bisnis yang digeluti Veronica yang bergerak untuk kepentingan sosial sangat minim ditemui di Indonesia. Menurutnya, apa yang dilakukan Veronica bisa menginspirasi bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama bahwa mendirikan perusahaan bukan semata-mata mencari keuntungan namun membantu kelompok masyarakat yang tidak mampu, "Esensinya, bagaimana cari uang tapi bermanfaat bagi orang banyak, bukan untuk diri sendiri dan segelintir orang," pungkasnya.
Sumber: gusti/ugm