Korupsi Hancurkan Martabat Bangsa
- Detail
- Kategori: Berita
- Dilihat: 3738
Budayawan Emha Ainun Najib menyebutkan Indonesia telah kehilangan martabatnya sebagai bangsa. Pasalnya negara belum mampu memenuhi hak dan kebutuhan rakyatnya. Ditambah lagi dengan praktik korupsi yang kian marak dalam beberapa waktu terakhir. "Indonesia sudah hancur martabatnya, korupsi dimana-mana," terangnya, Selasa (4/3) di UC UGM dalam Seminar Nasional "Etika dan Martabat Manusia: Refleksi Perjalanan Kehidupan Bangsa Indonesia".
Cak Nun mengatakan martabat bangsa bisa hancur karena manusia yang semakin mengabaikan norma dan nilai sosial serta etika dalam kehidupan berbangsa. Fenomena seperti ini justru semakin menguat di Indonesia. Sebut saja dalam proses politik kenegaraan semakin banyak ditemui penggunaan politik uang dan upaya saling menjatuhkan. Politik menjadi dimaknai hanya sebagai jalan untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan.
"Ngakunya maju jadi caleg untuk perjuangkan rakyat, tapi sebenarnya cari kekuasaan maupun kekayaan," ujarnya.
Disampaikan Cak Nun, masyarakat Indonesia saat ini kehilangan kepercayaan terhadap negara. Bahkan, perilaku yang mengabaikan etika dan norma sosial tersebut justru mengilhami masyarakat untuk turut melakukannya.
"Ya gak heran kalau sekarang banyak pengguna jalan yang ngawur. Mereka pikir kenapa harus patuh, lha wong pejabatnya saja banyak yang tidak patuh, korupsi dan menggelapkan pajak rakyat," jelasnya.
Ekonom UGM, Prof. Dr. Mudrajad Kuncoro menuturkan bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini masih belum mampu menentaskan kemiskinan. Meskipun dalam sepuluh tahun terakhir jumlah orang miskin dan tingkat kemiskinan mengalami penurunan, tetapi ketimpangan sosial masih cukup besar. "Ketimpangan masih tinggi. Setidaknya 28 juta masyarakat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan," jelasnya.
Hingga saat ini terdapat 183 kabupaten/kota yang berada dalam ketertinggalan. Dari jumlah tersebut sebagian besar ketertinggalan dialami oleh daerah Timur Indonesia.
"Hampir 70 persen dialami wilayah Timur Indonesia. Jadi walapun tingkat kemiskinan Indonesia menurun, namun di daerah tertentu, Timur Indonesia, tingkat kemiskinan masih tinggi lebih dari 20 persen," paparnya. Pembangunan di Indonesia, dikatakan Mudrajad belum dilakukan secara merata. Bahkan, sebagian besar hasil pembangunan hanya dinikmati oleh kalangan tertentu.
"Setidaknya 85 persen pembangunan dinikmati orang kaya dan menengah," katanya. Mudrajad menuturkan pembangunan yang tidak bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat adalah hal yang tidak beretika dan menurunkan martabat bangsa. Negara seharusnya menjalankan kewajiban memenuhi hak-hak rakyatnya dengan melakukan pembangunan yang bisa mensejahterakan seluruh masyarakat.
"Pembangunan di Indonesia ini belum berhasil mensejahterakan rakyatnya, tetapi malah menghasilkan orang miskin karena banyaknya tindak korupsi di berbagai sektor. Ditambah lagi dengan inefisiensi birokrasi di pemerintahan," urainya.
Dekan Filsafat UGM, Dr. Mukhtasar Syamsuddin menegaskan bahwa martabat manusia Indonesia saat ini berada dalam belenggu global utilitarianisme. Masyarakat memiliki kencenderungan dalam bertindak dengan menekankan prinsip manfaat. Kegunaan suatu tindakan dijadikan sebagai norma moral dalam berkehidupan.
"Jadi melakukan tindakan apakah itu memberi manfaat bagi dirinya," terangya.
Misalnya perilaku korupsi dilakukan karena memberikan keuntungan bagi pelaku. Padahal tindakan yang diambil adalah sesuatu yang tidak benar. "Namun hal itu tetap dilakukan karena membawa akibat yang menguntungkan," katanya.
Muhktasar menungkapkan bahwa belakangan terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat. Penilaian martabat seseorang tidak lagi dari perilaku mulia. Namun martabat dilihat atas dasar kekuasaan maupun materi yang dimiliki.
"Martabat dinilai dari kekayaan dan kekuasaan, itu yang terjadi sekarang ini. Masyarakat kita sudah berada dalam cengkarman utilitarianisme," kata dia menyayangkan. Sementara Dr. Gadis Arivia, Yayasan Jurnal Perempuan pada kesempatan itu lebih banyak membahas tentang etika perempuan dalam kehidupan. Ia menyebutkan bahwa ketertinggalan yang dialami perempuan Indonesia dikarenakan etika yang diterapkan lebih mengarah pada etika laki-laki. Sehingga banyak kebijakan negara dibuat kurang memperhatikan dan melindungi perempuan.
Dalam kehidupan sehari-hari, dikatakan Gadis, moralitas perempuan sering kalah apabila dipraktikan dalam hubungan dengan laki-laki ataupun orang yang lebih kuat. Selain itu juga saat dihadapkan dengan kondisi dimana konstruksi sosial yang meremehkan kepedulian.
"Wanita dianggap sebagai pribadi yang tidak otonom dan sering mengalami kehilangan hak dasar dan identitasnya. Untuk itu pendidikan penting untuk mengubah keadaan sosial wanita agar bisa jadi otonom dan bebas," ’jelasnya.
Sumber: Ika/UGM