Politisi sebaiknya bukan pencari kerja
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 2430
Politisi sebaiknya bukan pencari kerja, tetapi mereka yang sudah mapan secara ekonomi. Dalam kondisi normal, politisi harus mandiri secara ekonomi dari pendapatan politik yang didapatnya. Paparan ini pernah disampaikan Ilmuwan Jerman Max Weber pada tahun 1919 dalam sebuah kuliah terbuka. Menurut pakar Paleoantropologi UGM, Prof. drg. Etty Indriati, Ph.D., paparan Weber tersebut masih relevan dengan kondisi politik di Indonesia saat ini. Apabila calon legislatif yang ada saat ini terdiri dari para pencari kerja, tidak menutup kemungkinan akan menjadikan posisinya nanti sebagai mata pencaharian, maka risiko penyalahgunaan wewenang untuk meraih pendapatan finansial untuk diri sendiri semakin besar. "Akibatnya, kepentingan umum dikorbankan," kata Etty dalam bedah buku 'Pola dan Akar Korupsi' di ruang Auditorium Djarum Foundation Pertamina Tower, FEB UGM, Jumat (4/4).
Etty yang sekaligus menjadi penulis buku tersebut, mengungkapkan korupsi annggota parlemen sudah bukan rahasia umum lagi dan marak terjadi di berbagai Negara. Menurut Etty, pemimpin dan politisi yang baik seharusnya mempraktikkan 'tahta untuk rakyat' dan berupaya mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat dan berapa anggaran yang harus dialokasikan. "Karenanya suara rakyat tidak dibeli dengan uang namun dengan pengetahuan, empati, kebijakan tepat guna, tepat sasaran serta ketegasan dalam bertindak," katanya.
Berdasarkan kajian ilmu paleoantropologi, Etty menegaskan, pola korupsi yang dilakukan para koruptor tak ubahnya struktur sosial tribe, evolusi peradaban manusia di masa lampau, pemerintahan dibentuk berbasis keluarga sanak saudara. Yang terjadi saat ini, koruptor dan politisi membangun kekuasaan melalui mekanisme kekerabatan meski hidup di negara modern. "Mereka hidup seolah di abad pertengahan," katanya.
Untuk memutus rantasi kekerabatan perilaku korupsi ini, menurut Etty, Negara perlu mengaturnya dengan tegas. "Di Australia, kecil sekali ditemukan praktik korupsi karena negara berhasil memutus mata rantai kekerabatan itu," ungkapnya.
Adapaun cara yang paling efektif untuk memberantas korupsi menurut Etty adalah dengan memiskinkan para koruptor, tidak cukup dengan memberikan hukuman karena ditengarai tidak memberikan efek jera. "Hukuman empat atau lima tahun itu sangat ringan," katanya.
Selain kehadiran KPK yang dibutuhkan untuk tetap menindak para pelaku korupsi, Deputi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, KPK, Iswan Elmi, M.Sc, mengakui penegakan hukum bukan satu-satunya cara memberantas korupsi. Kenyataan selama ini, korupsi bukan justru berkurang malah makin bertambah. "Dari penanganan kasus korupsi, pelakunya makin berlipat," katanya.
Salah satu cara yang kini tengah ditempuh KPK dengan mengkampanyekan integritas moral para penyelenggara Negara. "Integritas tidak berkorelasi dengan bertambahnya umur namun menciptakan budaya malu jika melakukan korupsi," imbuhnya.
Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso, mengakui pola kekerabatan sangat mengakar kuat di masyarakat sehingga menjebak para pelaku korupsi saat jadi pejabat. "Korupsi terjadi karena adanya ambivalensi norma. Kita harus bersama-sama meminimalisir ambivalensi itu," pungkasnya.
Sumber: Gusti/UGM