Obligasi Rekap BLBI Bebani Keuangan Negara
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 4487
Puluhan Ekonom dari Kampus UGM mengganggap kebijakan pemberian dana talangan perbankan melalui kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 1997-1998 dianggap kebijakan tepat dalam menanggulangi krisis ekonomi. Namun begitu, tidak menutup kemungkinan adanya indikasi korupsi dan timbulnya moral hazard saat pemberian dana talangan sementara dan pemberian surat keterangan lunas BLBI yang perlu dituntaskan agar tidak menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi panel ahli yang membahas analisis dampak ekonomi kebijakan BLBI di ruang kertanegara Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Jumat (20/2). Beberapa nara sumber yang hadir dalam diskusi tersebut, diantaranya Dekan FEB UGM Prof. Wihana Kirana Jaya, M.Soc. Sc., Mantan Menteri Keuangan Prof. Dr. Bambang Sudibyo, M.B.A., pengamat ekonomi UGM A.Tony Prasetiantono, Ph.D., Guru Besar FEB UGM Prof. Dr. Nopirin dan Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat.
Tony Prasetiantono, Ph.D., mengatakan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali mencuat setelah KPK tengah berupaya menyelidiki indikasi korupsi pada pemberian dana talangan BLBI dan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI tersebut. Meski begitu, Tony menilai adanya kebijakan BLBI bermaksud baik karena ingin menyelamatkan mayoritas perbankan yang mengalami kerugian akibat adanya penarikan dana dari nasabah secara besar-besaran pada bulan Oktober, Nopember dan Desember 1997. “Krisis yang awalnya melanda Thailand, ternyata menular ke Indonesia dengan adanya pembelian dollar secara besar-besaran yang menyebabkan nilai tukar rupiah melemah,” katanya.
Karena cadangan devisa BI ketika hanya 19 milyar dollar, pemerintah akhirnya mendapat tawaran bantuan dari IMF. Namun sehari setelah penandantanganan kerja sama dengan IMF di pertengahan januari tahun 1998 justru ditanggapi negatif oleh pasar dimana nilai tukar rupiah mencapai titik terendah Rp 17 ribu.
Sayangnya, kata Tony, pemerintah mengikuti saran dari IMF untuk menaikkan suku bunga deposito bank menjadi 60 persen melebihi dari suku bunga kredit yang 24 persen per tahun. “Akibatnya bank-bank mengalami kerugian besar,” katanya.
Kebijakan pemerintah melalui BI menutup 16 bank-bank kecil, kata Tony, menimbulkan kepanikan masyarakat yang menarik dana secara besar-besaran di bank. Toni menyebutkan beberapa bank yang waktu itu mengalami kerugian seperti Bank Bumi Daya rugi Rp 30,5 T, Bank Exim rugi 44,5 T dan Bank Bapindo rugi 11 triliun. Bank-bank yang mengalami kerugian tersebut mendapat dana talangan dari pemerintah. Tidak semua bank mengembalikan dana talangan tersebut ke pemerintah, sebaliknya banyak bank yang gulung tikar.
Ditegaskan Tony, BLBI memang sepenuhnya menjadi tanggungjawab Bank Indonesia. Dikarenakan pemerintah tidak memiliki dana tunai sebesar Rp 600-an tirliun untuk menyehatkan perbankan nasional, kebijakan BLBI diganti menjadi kebijakan obligasi rekap (OR) dimana pemerintah hanya membayar bunga sebesar 10 persen. Hal itu berdasarkan saran dari IMF. “ IMF memberi saran dengan istilah rekayasa akuntansi, pemerintah tidak punya tunai Rp 600 Triliun, tapi punya kemampuan bayar bunga 10 persen. Sampai sekarang pemerintah bayar ke perbankan sebesar Rp 60 triliun setiap tahun yang diambil dari dana APBN,” ujarnya.
Prof. Dr. Bambang Sudibyo MBA mengakui kebijakan obligasi rekap untuk sebagain besar bank dilakukan pada saat dirinya menjabat menteri keuangan. Namun secara teknis pengurusan bank rekap itu dilakukan oleh Darmin Nasution yang menjadi Dirjen Lembaga Keuangan. “Secara teknis yang menangani adalah Pak Darmin Nasution. Saya lihat beliau hati-hati dan teliti sekali,” katanya.
Bambang mengatakan pemerintah saat ini menanggung beban obligasi rekap sehingga harus menggelontorkan dana untuk diberikan ke ke bank meski kondisi keuangan bank tersebut sudah sangat baik. Untuk menghentikan pembagian dana dari bunga obligasi rekap BLBI, menurutnya butuh kebijakan dan ketegasan pemerintah yang didasarkan pada pertimbangan dari aspek hukum, ekonomi dan politik. “Perlu dicari solusinya secara hukum, ekonomi, dan politik karena ini bukan perkara gampang,” pungkasnya.
Sumber: Gusti/UGM