Mengulik Pengaruh Antropomorfisme Terhadap Retensi Relawan di JAFF
- Detail
- Ditulis oleh Najwah
- Kategori: Berita
- Dilihat: 197
Kegiatan sukarelawan (volunteer) merupakan salah satu kegiatan yang paling diminati oleh banyak anak muda, termasuk mahasiswa. Kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kerja, koneksi, hingga pengalaman merupakan daya tarik utama dari kegiatan volunteer. Hanya saja belakangan ini, banyak anak muda yang hanya tertarik untuk berkontribusi dalam waktu singkat saja. Hal ini tentunya menjadi masalah tersendiri bagi beberapa jenis kegiatan yang hanya mengandalkan sumber daya manusia dari relawan.
Dosen Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB UGM) Rokhima Rostiani, S.E., M.Mgt., melakukan sebuah penelitian berjudul "The Human Touch: Investigating the Importance of Anthropomorphism in Retaining Volunteers at the Jogja-NETPAC Asian Film Festival." Penelitian ini mengambil studi kasus penurunan retensi sukarelawan di salah satu acara terbesar di Yogyakarta, yaitu the 17th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) yang diadakan pada tahun 2022. Hasil penelitian ini dipresentasikan dalam FEB Research Day pada 13 Desember 2024) di Gedung Pusat Pembelajaran FEB UGM.
Rokhima menjelaskan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) adalah salah satu festival film terkemuka di Indonesia yang berfokus pada pengembangan film di Asia yang dimulai pada tahun 2006 silam. JAFF merupakan salah satu festival yang memiliki dampak besar di masyarakat, dengan skala festival yang sudah internasional dan banyak mengangkat film-film independen bertemakan isu sosial. Namun, pada penyelenggaraannya yang ke-17, JAFF menghadapi beberapa masalah, salah satunya yaitu penurunan retensi relawan.
“JAFF sebagai acara yang sangat mengandalkan ketersediaan relawan, menghadapi masalah yang cukup serius dengan penurunan retensi relawan dengan kemampuan yang sesuai,” jelasnya.
Rokhima menyampaikan kondisi tersebut terjadi karena relawan merasa cukup dengan kontribusi mereka pada satu kesempatan, tanpa keinginan untuk berkontribusi lagi di tahun-tahun mendatang (motif altruistik). Sementara saat ini, relawan lebih tertarik pada pengalaman sukarelawan dibandingkan dengan keterhubungan pada komunitas (a sense of belonginess).
Hal inilah yang kemudian dicoba untuk dianalisis oleh Rokhima dengan konsep antropomorfisme yaitu merujuk pada pemberian sifat, karakteristik, atau perilaku manusia kepada entitas non-manusia untuk menciptakan hubungan emosional antara manusia dengan entitas non-manusia tersebut. Dengan konsep ini, ia menganalisis hubungan kedekatan psikologis dan kontak psikologis dengan komitmen serta intensi untuk melanjutkan kegiatan sukarelawan. Penelitian dilakukan dengan melakukan survei online kepada 800 relawan JAFF.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa antropomorfisme yang diterapkan pada JAFF tidak cukup untuk mendorong relawan dalam memenuhi kebutuhan otonomi mereka. Hasil ini juga menunjukkan jika sebenarnya para relawan merasa memiliki kedekatan dan kontak psikologis dengan JAFF, tetapi tidak merasa terdorong untuk melanjutkan kontribusi mereka di masa depan.
“Mereka sadar telah terhubung dengan acara ini dan merasa JAFF memiliki ekspektasi tertentu terhadap mereka, tetapi mereka tetap tidak mau berkontribusi atau ikut volunteer lagi,” jelas Rokhima.
Ia mengungkapkan salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya retensi dalam kegiatan kesukarelawanan tersebut karena sistem yang tidak jelas serta kurangnya sosok pemimpin yang mampu memberi petunjuk mengenai peran dan tanggung jawab relawan. Selain hal itu juga kesibukan kuliah juga menjadi salah satu faktor yang turut berkontribusi terhadap penurunan retensi sukarelawan di JAFF.
Reportase: Najwah Ariella Puteri
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals